Upacara Adat Tulude


UPACARA ADAT TULUDE, TRADISI MASYARAKAT NUSA UTARA DI KEPULAUAN SANGIHE, TALAUD DAN SITARO'
Upacara adat ''Tulude'' merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro)di ujung utara propinsi Sulawesi Utara). Telah berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangan atau dilupakan oleh generasi manapun. Tradisi ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi dan budaya masyarakat Nusa Utara. Bahkan tradisi budaya ini secara perlahan dan pasti mulai diterima bukan saja sebagai milik masyarakat Nusa Utara, dalam hal ini Sangihe, Talaud dan Sitaro, tetapi telah diterima sebagai suatu tradisi budaya masyarakat Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya. Sebab, di mana ada komunitas masyarakat etnis Sangihe-Talaud, pasti di sana akan ada hajatan Tulude.

Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat manusia selama setahun yang lalu. Namun, untuk mencari kepraktisan pelaksanaannya, banyak kelompok masyarakat menyelenggarakannya tidak sepenuhnya sebagai sebuah bentuk upacara, tetapi dilaksanakan dalam bentuk ibadah-ibadah syukur, mulai dari tingkat RT, lingkungan, kelurahan, jemaat-jemaat, organisasi rukun dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Namun, apapun bentuk pelaksanaannya, hakikat dari Tulude itu sendiri tetap menjadi dasar bagi pelaksanaannya setiap tahun.

Pada masa awal beberapa abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk melaksanakan upacara Tulude. Pengertian Tulude itu sendiri adalah “menolak” atau “mendorong” dalam hal ini menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru. Dalam tradisi kafir leluhur masyarakat Sangihe dan Talaud, acara tolak tahun ini diwujudkan dengan upacara di tepi pantai dengan menolak, mendorong atau melepaskan sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu “latolang” (sejenis kayu yang tumbuh lurus tinggi tak bercabang) dengan muatan tertentu. Perahu ini oleh tokoh adat didorong, dilepas atau dihanyutkan ke laut sebagai simbol, segala sesuatu yang buruk di tahun yang akan lewat dibuang atau dihanyutkan ke laut agar tidak lagi menimpa warga desa setempat di tahun yang baru. Jika perahu tersebut dibawa arus laut dan terdampar di pantai atau desa tetangga, maka orang yang menemukannya wajib menolak dan menghanyutkannya kembali ke laut, karena dipercaya, kalau tidak dihanyutkan lagi, maka segala malapetaka dan sakit-penyakit yang pernah menimpa masyarakat asal perahu itu, akan berpindah ke tempat di mana perahu itu terdampar.

Ketika agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan muatan-muatan penginjilan dan tradisi kekafiran secara perlahan mulai terkikis. Bahkan, hari pelaksanaannya yang biasanya pada tanggal 31 Desember, oleh kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun berikutnya. Hal ini dilakukan, karena tanggal 31 Desember merupakan saat yang paling sibuk bagi umat Kristen di Sangihe dan Talaud. Sebab, seminggu sebelumnya telah disibukkan dengan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru. Akibat kepadatan dan keseibukan acara ibadah ini dan untuk menjaga kekhusukan ibadah gerejawi tidak terganggu dengan upacara adat Tulude, maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari. Bahkan pada tahun 1995, oleh DPRD dan pemerintah kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud, tanggal 31 Januari telah ditetapkan dengan Perda sebagai hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude.

Dalam upacara adat tulude ini, ada berbagai konten adat yang dilakukan. Pertama, dilakukan pembuat kue adat Tamo di rumah seorang tokoh adat semalam sebelum hari pelaksanaan upacara. Kemudian, persiapan-persiapan pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer, kelompok nyanyi masamper, penetapan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo, dan penyiapan kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersama Wawu Boki (isteri pemimpin negeri)serta penyebaran undangan kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).

Waktu pelaksanaan upacara adat Tulude adalah sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam. Waktu 4 jam ini dihitung mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena upacara. Sebelum kue Tamo ini di bawah masuk ke arena upacara, Tembonang u Banua (Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati atau Gubernur wajib sudah berada di bangsal utama untuk menjemput kedatangan kue adat ini. -- (Semuel Muhaling)

Newer Post Older Post

Leave a Reply

My Blog List